05.51
Harnadi Hajri, S.Pd
No comments
Semua kita pasti ingin menjadi guru
yang profesional, yang ditambah lagi dengan kreatifitas yang tinggi agar
dapat menjadi guru teladan dan plus plus bagi setiap siswa kita.. nah
berikut kisah guru yang patut kita contoh berdasarkan kutipan dari siswa
yang pengalaman siswa yang bersangkutan.
Guru Supel Plus Ramah
Pak
Ngadmin adalah guru di Sekolahku, sebuah sekolah SD di kota Bandung,
sepintas ia sama sekali tidak menarik. Pakaian yang dikenakannya
terkesan sederhana alias tak bermerk tapi rapi dan bersih. Sepatunya,
kadang disemir kadang tidak. Rambutnya selalu tercukur rapi. Tubuhnya
sedikit pendek tapi langsing. Dan wajahnya, ehm…tidak tampan tapi juga
nggak jelek. Biasa aja. Jadi wajar kalau pertama ketemu tak ada kesan
yang membekas. Jadi pendapat bahwa kesan pertama cukup menentukan,
belakangan baru ku tahu ternyata tidak kena untuk sosok Pak Ngadmin.
Saat
kutahu bahwa wali kelasku di kelas lima adalah Pak Ngadmin, jujur saja
aku merasa sedikit kecewa. Wah, orangnya nggak asyik! Pikirku. Tapi,
yaa…apa boleh buat. Dengan lesu aku duduki bangku di sudut kelas seraya
merebahkan daguku di atas meja. Beberapa temanku terlihat asyik
bercanda, yang lain tertawa-tawa senang karena sebagian besar mereka
berada dalam kelas yang sama saat kelas empat. Sementara aku, bukannya
aku tak kenal mereka, tapi sahabat-sahabatku tidak lagi sekelas
denganku. Mereka terpencar di kelas yang lain.
“Halo
anak-anak, selamat pagi semuanya,” suara yang ringan dan ramah
tiba-tiba menyeruak di tengah kebisingan kelas. Sesaat aku tersentak,
kuangkat kepalaku lalu kurebahkan lagi. Pak Ngadmin melangkah ke depan
kelas dengan tegap dan pasti. Senyum tulus tampak menghias wajahnya.
Berdasarkan tulisan di kertas yang ia pegang, Pak Ngadmin mulai
memanggil nama murid-muridnya satu persatu dan menanyakan nama panggilan
masing-masing. Ketika giliran namaku dipanggil, aku mengangkat tanganku
dan hanya mengangkat daguku beberapa sentimeter dari meja. Dahi Pak
Ngadmin tampak berkerut memandangiku.
“Kamu sakit?” tanyanya ramah. Ia melangkah tenang ke arahku. Tangannya yang bekulit sawo matang meraba dahi dan leherku.
“Nggak
panas kok. Kenapa, nak, kok lesu? Ayo, coba duduknya tegak dan
perlihatkan senyummu,” ajaknya lembut. Kuikuti saran Pak Ngadmin
walaupun rasanya sulit mengukir senyum dengan bibir yang kaku.
“Nah….gitu
dong! Kalau senyum kamu kelihatan lebih cakep, lho.” Pak Ngadmin
berkomentar sambil mengusap rambutku. Kulihat beberapa temanku tertawa
geli mendengar ucapan Pak Ngadmin. Tanpa kuduga, sikap Pak Ngadmin tadi
menghapus sedikit rasa kecewaku. Semangat mulai mewarnai hatiku di
tengah gumpalan asap kelabu yang memenuhi perasaanku. Hehe…baru sekarang
ada yang bilang aku cakep. Kukejap-kejapkan mataku membuang kantuk.
Guru Tegas Plus Berwibawa
Hari pertama sekolah itu, aku
hanya mencatat jadwal pelajaran dan mendengarkan beberapa peraturan yang
diberikan Pak Ngadmin. Rasanya, semua peraturan yang disampaikan cukup
klise dengan kelas-kelas sebelumnya. Ah, bosan! Keluhku. Semangatku pagi
itu sepertinya hampir terbang. Tapi…belum lagi daguku menyentuh meja,
tiba-tiba Pak Ngadmin memanggilku.
“Komar…”
Suaranya cukup keras tapi tetap tenang. Aku tersentak. Sorot matanya
tajam menatapku. Tak ada kemarahan tapi sanggup membuatku ciut.
“Pergilah
ke toilet dan basuh mukamu, agar kamu lebih segar dan tidak lesu,”
perintahnya datar. Tak ada kekesalan atau kemarahan yang tersirat baik
dalam suara maupun wajahnya, tapi nada suaranya tampak sungguh-sungguh
dan mengandung magnet yang membuatku merasa tak benyali untuk
menentangnya. Instingku mengatakan bahwa Pak Ngadmin adalah guru yang
tidak bisa dipermainkan murid, seperti guru-guru lainnya. Tanpa berpikir
dua kali, aku segera melakukan perintahnya dan cepat-cepat aku kembali
ke kelas tanpa pedulikan wajahku yang masih basah.
“Sudah?
Nah, kelihatan lebih segar sekarang,” pujinya sambil tersenyum.
Sekarang aku merasa semakin tertarik mendengarkan penjelasan dari setiap
peraturan yang akan beliau terapkan. Rasa lesuku menguap pergi, entah
kemana. Setelah kusimak, ternyata ada banyak perbedaan dengan peraturan
yang kuterima di kelas-kelas sebelumnya. Aku jadi penasaran…
“Anak-anak…,”
seru Pak Ngadmin lantang. Semua mata memandang kearahnya tanpa
terkecuali. ” Di kelas empat ini, Bapak meminta kalian untuk tidak
memegang alat tulis apapun jika Bapak sedang menerangkan. Semuanya harus
belajar untuk menyimak dan mendengarkan setiap pelajaran yang Bapak
jelaskan di depan. Apa kalian mengerti..?”suaranya begitu keras dan
jelas. Sejenak Pak Ngadmin memandang setiap anak yang duduk mematung
dengan wajah tegang.
“Mengerti…atau
tidaaakk…..!” Anak-anak tersentak. Volume suara Pak Ngadmin terdengar
lebih keras tapi tak ada nada marah di dalamnya. Dan seperti sebuah
paduan suara, semua murid menjawab serempak,” Mengertiiiii……..!”
Pak Ngadmin memperlihatkan rangkaian giginya yang rapih dan bersih. Dia tertawa lepas sejenak.
“Haha…anak-anak,
kalian tidak usah tegang begitu. Jangan takut. Selama ini Bapak masih
makan nasi kok, bukan makan orang…” canda Pak Ngadmin dengan ekspresi
yang lucu.
Wajah-wajah kecil yang ketakutan tadi kini tampak tenang dan kembali ceria. Semua tertawa menimpali gurauan Pak Ngadmin.
“Ya…Bapak
paling tidak suka kalau sedang menerangkan suatu pelajaran di kelas,
lalu ada yang asyik menulis, menggambar atau bermain. Anak seperti itu,
seringkali tidak dapat menyimak dengan baik. Tapi, bukan berarti kalian
tidak boleh bicara. Kalian boleh bicara…asal berkaitan dengan topik
pelajaran yang sedang kita bahas. Bahkan Bapak paling senang jika kalian
mau bertanya. Jangan malu! Kalau kalian bertanya, itu artinya kalian
menyimak. Jangan takut untuk bertanya kalau ada pelajaran yang belum
dimengerti. Paham..?” Semua mengangguk.
Kesan
pertama mulai sedikit tebentuk di hatiku. Kata-katanya jelas dan tegas.
Suaranya lantang. Matanya menatap langsung ke mata murid-muridnya.
Tidak tampak ragu. Senyumnya tampak tulus, tidak dipaksakan. Pak Ngadmin
bisa menguasai kelas dan mengendalikannya!
Sekalipun
dikenal sebagai guru yang sabar dan suka bergurau, bukan berarti Pak
Ngadmin tidak bisa marah. Beliau bisa marah bahkan berteriak dengan
suara sangat keras. Dan biasanya, kalau sudah begitu, tak ada satupun
murid yang berani menentang. Tetapi kemarahannya sangat cepat reda, tak
sampai berlarut-larut. Diakhir pelajaran, beliau selalu menjelaskan
alasan dari kemarahannya, sehingga kami tahu kesalahan yang telah kami
lakukan dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
Satu
hal yang kupelajari dari Pak Ngadmin adalah beliau hanya berteriak
keras bila ada muridnya yang tidak dapat menguasai emosi dan menangis
sambil berteriak-teriak sehingga cukup sulit dikendalikan. Seperti
temanku Icang. Icang adalah temanku yang sangat mudah terpancing
emosinya. Hal sepele saja bisa membuatnya mengamuk, menangis
meraung-raung dengan duduk di lantai, bahkan melemparkan benda apapun
yang ada di dekatnya, termasuk kursi di kelas.
Aku
dan teman-temanku hanya memandangi Icang dari jauh dengan perasaan
bingung bercampur takut. Tak lama, kulihat Pak Ngadmin datang tergesa
diikuti beberapa temanku yang mengadukan hal Icang. Awalnya, Pak Ngadmin
mencoba menegur dan bertanya pada Icang tanpa nada tinggi. Tetapi
ketika dilihatnya Icang tak mau mendengar bahkan semakin menjadi dan
bermaksud memukul Budi dengan tasnya, tiba-tiba Pak Ngadmin bersuara
menggelegar memanggil nama Icang. Tangis Icang langsung berhenti.
Matanya menatap terkejut ke arah asal suara. Begitu juga aku dan
teman-temanku. Hening. Sepi. Pak Ngadmin menatap tajam dan lekat ke arah
Icang. Tangisnya yang tadi keras kini berganti dengan isakan kecil.
Kurasa tak ada satupun yang mengira, bahwa Pak Ngadmin bisa marah
seperti itu.
Perlahan Pak
Ngadmin mendekat ke arah Icang, lalu menuntunnya dengan lembut keluar
dari kerumunan. Dengan tenang, Pak Ngadmin menyuruh semua murid duduk di
tempatnya masing-masing dan memberi tugas untuk dikerjakan. Sementara
itu, Pak Ngadmin mengajak Icang keluar dari kelas untuk berbicara
dengannya. Kurang lebih satu jam kemudian, Icang bersama Pak Ngadmin
masuk kembali ke dalam kelas. Entah apa yang dibicarakan, tapi kini
Icang tampak lebih tenang.
Semua
mata tertuju pada Icang. Kami ingin tahu, apa yang terjadi. Mengapa
Icang bisa tenang seperti itu? Seringkali, dengan kebiasaan buruk Icang
tadi, tak ada yang bisa membuatnya berhenti menangis meraung-raung,
apalagi membuatnya tenang. Bahkan bisa dipastikan, Icang akan menolak
untuk masuk kembali ke kelas serta memilih duduk di teras kelas atau
meja piket guru sampai bel tanda pulang berbunyi. Tapi yang kali ini,
kok aneh….?
Pikiran buruk mulai
melintas di benakku. Apa yang dilakukan Pak Ngadmin terhadap Icang?
Apakah beliau memukulnya, sehingga Icang tidak berani melanjutkan
tangisnya? Hii…, seram! Segera aku menulis di bagian belakang buku
tulisku dengan tulisan besar-besar:
Kesan kedua: jangan bangunkan harimau tidur!…..
Saat bel tanda istirahat kedua berbunyi, segera aku melesat mendekati Icang. Icang tertawa melihatku yang hampir terpeleset.
“Cang,
kamu nggak apa-apa? Tadi kamu diapain sama Pak Ngadmin?” tanyaku tak
sabar. Rupanya teman-teman yang lain berpikiran sama denganku. Dalam
sekejap saja mereka sudah mengerumuni kami.
“Diapain..? Nggak kok, nggak diapa-apain…,” sahut Icang bingung.
“Nggak dicubit, dipukul atau…diancam, gitu?” tanya Adi menimpali. Icang menggeleng.
Semua saling menatap tak percaya.
“Tenang…aku
baik-baik aja. Tadi aku cuma ngobrol sama Pak Ngadmin.” Icang
menjelaskan dengan tenang seraya mencoba menyeruak keluar dari lingkaran
kami.
“Haaa……..?” Tanpa sadar,
hanya satu suara itu yang keluar dari mulutku dan teman-teman. Kulihat
Icang mendekati Budi, yang hampir jadi sasaran tasnya. Semua tegang…
“Maaf-in aku ya, Bud..,” ujar Icang tenang seraya mengulurkan tangannya menjabat tangan Budi.
“Haaa…….?!”
Semua makin heran dan bingung. Serempak mata kami terarah kepada Pak
Ngadmin, yang sejak tadi berdiri mengawasi di depan kelas. Beliau
menatap Icang dengan lembut seraya mengacungkan jempolnya. Aku
penasaran, rumus apa yang dipakai Pak Ngadmin untuk merubah perilaku
Icang?
Selama di kelas lima aku
menghitung, perilaku Icang mengamuk terjadi hanya dua kali. Padahal di
kelas-kelas sebelumnya, Icang selalu mengamuk hampir tiap bulan. Kini,
Icang tidak lagi mengalami masalah dalam bersosialisasi. Hari-harinya
diisi dengan ceria dan tawa. Icang yang kulihat sekarang sangat berbeda
dengan Icang yang dulu. Segera aku menulis lagi di halaman berikutnya
tulisanku yang dulu:
Harimau tidur, perlu sekali-kali dibangunkan……:)
Guru Kreatif Plus Inovatif
Seminggu pertama belajar dalam
asuhan Pak Ngadmin, mampu membuatku merasa lebih bersemangat untuk
bekajar. Pak Ngadmin selalu berhasil membawa suasana ceria di dalam
kelas, apapun pelajarannya. Terkadang, di tengah-tengah pelajaran beliau
menyisipkan cerita yang menarik bahkan terkadang lucu, namun sarat
dengan pesan moral.
Pagi ini,
usai upacara rutin hari Senin, Pak Ngadmin masuk sambil membawa gulungan
karton berwarna orange. Tak lama kemudian, beliau menempelkannya di
dinding dekat mejanya. Semua siswa mengamati. Tak ada gambar apapun pada
karton itu, kecuali tulisan besar yang berbunyi: “POJOK HUKUMAN’. Semua
murid meringis. Kami tahu sekarang, minggu lalu Pak Ngadmin sudah
menjelaskan tentang salah satu peraturan mengenai pojok hukuman.
Selesai
menempel karton tadi, segera Pak Ngadmin memberi perintah untuk
mengeluarkan buku pelajaran yang akan dibahas. Semua terlihat tertib dan
tenang merogoh buku di dalam tas masing-masing. Tiba-tiba, tampak Sanip
melangkah dengan ragu ke arah Pak Ngadmin. Tangannya yang saling
meremas menunjukkan kecemasan. Sanip terlihat menggumankan sesuatu.
“Ya.
Suaramu kurang keras, nak. Ada apa?” sahut Pak Ngadmin. Semua mata
tertuju ke arah Sanip. Sekarang suaranya terdengar lebih keras tapi
sedikit bergetar. Pak Ngadmin tersenyum seraya menanyakan alasan Sanip
tidak membawa buku pelajaran.
“Lain
kali jangan ketinggalan, ya,” ujar Pak Ngadmin tenang. Murid-murid
tertawa geli ketika melihat Pak Ngadmin menggambar sebuah wajah murung
berbentuk lingkaran, dan pada dahinya ditulis SANIP, kemudian
membubuhkan sebuah jerawat pada wajah itu. Semakin sering seorang murid
ketinggalan buku pelajaran atau lupa mengerjakan tugas, maka semakin
banyak pula jerawat pada gambar wajah dengan nama siswa tersebut. Sudah
barang tentu, hal ini memberikan efek jera para siswa. Tak seorangpun
mau dikenali sebagai pemalas atau pelupa melalui gambar di pojok
hukuman. Apa jadinya, bila orang tua mereka mengetahui melalui pojok
hukuman itu, bahwa ternyata anaknya banyak melalaikan tugas. Wah, bisa
BAHAYA!
Hal yang menarik, Pak
Ngadmin bukan hanya menyediakan sebuah karton bertulis POJOK HUKUMAN,
tapi di bagian dinding yang lain ada sebuah karton yang berisi tulisan
nama-nama siswa dengan ruang kosong yang cukup untuk membubuhkan puluhan
cap ukuran kecil di dalamnya. Karton itu berjudul “PRESTASIKU”. Setiap
siswa yang mendapat nilai 8 - 10 akan mendapat hadiah cap pada ruang
kosong yang berisi namanya. Setiap nilai mempunyai bentuk cap yang
berbeda. Aku selalu mengincar cap ‘Bintang’ yang menjadi kesukaanku,
begitu pula halnya dengan teman-temanku. Karena semakin banyak bintang
pada namaku, hal itu
menunjukkan prestasi yang kubuat. Betapa bangganya orang tuaku bila melihat cap bintang bertaburan di ruang namaku.
Tak
berhenti sampai di situ. Setiap bulan, Pak Ngadmin selalu memberikan
sertifikat yang dirancangnya sendiri, sebagai penghargaan atas prestasi
murid-muridnya dalam setiap masa pelajaran aktif 30 hari. Program
sertifikat ini bernama KID’S THIS MONTH. Sedangkan untuk siswa yang
menyenangkan dalam bergaul dan suka menolong, akan mendapat sertifikat
THE FAVOURITE KID’S. Juga untuk siswa yang menunjukkan peningkatan pesat
dalam kemajuan belajarnya meskipun nilainya tidak sepuluh, akan
mendapat sertifikat Spesial. Semua siswa berlomba mendapatkan sertifikat
ini, apalagi foto mereka akan terpampang di kelas sampai pemberian
sertifikat berikutnya.
Aku dan
semua teman-temanku di kelas tahu bahwa Adam adalah satu-satunya murid
di kelas kami yang sangat membenci pelajaran matematika. Bahkan saking
bencinya dia pada pelajaran ini, di setiap buku dan dinding di kamarnya,
ada tanda tulisannya yang berbunyi; ADAM BENCI MATEMATIKA!!
Pak
Ngadmin hanya mengangkat alisnya dengan wajah berhias senyum seraya
menatap Adam yang tertunduk kaku, ketika beliau tahu kebencian itu.
Dipanggilmya Adam mendekat. Kulihat Pak Ngadmin bicara berbisik pada
temanku itu, sambil sesekali diiringi anggukkan kepala Adam. Entah apa
yang disampaikan guruku, tapi kulihat wajahnya begitu tenang. Tak lama
kemuadian, Adam kembali duduk di bangkunya. Dia tidak terlihat sedih
tapi justru seperti baru terlepas dari beban yang begitu berat.
Aku penasaran. Apa sebenarnya yang dikatakan Pak Ngadmin padanya?. Saat istirahat segera kudekati Adam.
“Dam,
Pak Ngadmin bilang apa, sih..?” tanyaku penasaran. Kutarik Adam ke
sudut kelas. Adam hanya tersenyum menggeleng. Aku desak dia. Akhirnya
temanku itu menyerah.
“Pak
Ngadmin bilang, beliau juga dulu seperti aku, benci matematika. Menurut
beliau, tidak apa-apa aku benci matematika. Itu hal biasa.” Aku
bingung….lalu katanya lagi,
“Dam,
Bapak tahu sebenarnya kamu anak yang cerdas. Hasil test IQ-mu
menunjukkan itu…Apa kamu mau dikalahkan oleh rangkaian huruf dari
M-A-T-E-M-A-T-I-K-A..?”
“Terus……terus…?” desakku lagi. Aku semakin penasaran.
“Pak
Ngadmin bilang, justru kalau aku benci matematika, aku harus bisa
menaklukkannya dengan mendapat nilai terbaik. Kalau nilaiku jelek,
berarti aku membiarkan diriku dikalahkan oleh si matematika ini tanpa
perlawanan.” Aku makin bengong….
Bel
tanda usai istirahat menghentikan segala kegiatan di luar kelas, tapi
aku masih tidak mengerti maksud kata-kata Pak Ngadmin pada Adam.
“Anak-anak,
Bapak ingin memperkenalkan kalian pada seorang ahli matematika yang
sangat hebat. Beliau memang tidak ada disini. Tapi Bapak akan ceritakan
siapa orang yang Bapak maksud. Tokoh ini bernama Ni Ing Han. Dia seorang
warga Negara Indonesia. Apa kehebatannya? Ni Ing Han, awalnya adalah
seorang pria yang tidak mempunyai kekurangan fisik. Tapi suatu pagi, dia
mengalami kebutaan. Dari hasil pemeriksaan, dokter yang memeriksanya
mengatakan bahwa dia mengalami kebutaan secara permanen. Tentu saja ini
merupakan pukulan yang berat untuk seorang Ni Ing Han. Tapi dia tidak
membiarkan dirinya terpuruk terlalu lama. Singkat cerita, dalam kebutaan
yang dialaminya itu, Ni Ing Han kini menjadi seorang guru matematika
yang sangat handal. Bahkan, menurut kabar burung, dia bisa membuat murid
yang semula sangat kurang dalam matematika menjadi murid yang pandai
mengerjakan soal matematika. Artinya, inti dari cerita ini adalah apapun
tantangan yang kalian hadapi, percayalah Tuhan sudah menyediakan jalan
keluarnya. Tinggal kita yang harus mau berusaha dan tidak putus asa.”
Aku tertegun. Ingin rasanya aku bertemu tokoh itu.
Hari-hari
selanjutnya, kulihat Adam selalu menggunakan waktu istirahat pertamanya
untuk menanyakan soal matematika pada Pak Ngadmin. Perlahan, dia mulai
dapat menjawab dengan tepat setiap soal matematika yang diberikan Pak
Ngadmin. Dia juga tidak lagi malu untuk mengangkat jarinya, bila ada
pelajaran yang belum ia mengerti.
Aku
dan teman-temanku terpana tak percaya, ketika kami tahu nilai
matematika Adam saat ulangan tengah semester adalah delapan setengah.
Secara spontan kami semua berteriak dan bertepuk tangan. Adam tampak
tersipu tapi rasa bahagia di wajahnya tak dapat ia sembunyikan.
Sementara, Pak Ngadmin juga tak ketinggalan ikut bertepuk tangan sambil
mengangguk-angguk dengan senyum khasnya. Kutatap Adam dengan kagum. Yang
kutahu, selama ini nilai matematika yang diperolehnya berkisar pada
angka lima ke bawah.
Adam
terlihat begitu senang, ketika di akhir bulan, dia juga mendapat
Sertifikat Istimewa, atas upaya dan keberhasilannya meraih nilai baik
dalam matematika. Sekarang, dia selalu bersemangat mengerjakan soal-soal
matematika.
Guru Hati Plus Surat
Aku merasa begitu terharu dan
terperanjat ketika usai pelajaran terakhir, Pak Ngadmin memanggil
murid-muridnya satu persatu serta memberikan sepucuk surat bertuliskan
nama masing-masing muridnya. Semua menerimanya dengan penuh antusias,
tak terkecuali aku. Tanpa menunggu aba-aba, setiap siswa yang telah
mendapatkan surat segera membacanya, meskipun Pak Ngadmin meminta kami
untuk membaca di rumah saja. Tapi rasa gembira membuat kami tak sabar
untuk segera mengetahui isi surat itu.
Ternyata surat itu berisi
tulisan tangan Pak Ngadmin, dan bukan ketikkan atau hasil print out.
Setiap surat berisi rangkaian kata-kata yang berbeda, disesuaikan dengan
karakter setiap siswa. Tiga puluh empat pucuk surat untuk tiga puluh
empat siswa dengan tulisan yang rapi dengan kata-kata “tepat sasaran”,
yang dibutuhkan siswa sebagai penggugah semangat untuk belajar. Kutatap
Pak Ngadmin dengan rasa yang sulit kuungkapkan, namun tekadku terasa
begitu besar untuk membuat beliau bangga padaku. Yang lebih
menyenangkan, kami menerima surat setiap kali akan menghadapi ulangan
tengah semester atau ulangan semester.
Isi surat itu begitu menyentuh
dan mengena di hatiku. Aku menyadari kelalaian yang sering kulakukan,
dan aku berjanji untuk memperbaikinya. Tak ada satupun siswa yang
terluput dari perhatian Pak Ngadmin. Ia selalu mengetahui saat kami
gelisah, sedih, tak nyaman, tak konsentrasi atau bahkan saat kami mulai
merasa sakit. Apapun persoalan yang kami hadapi, baik di kelas maupun di
rumah, bila itu mempengaruhi kemajuan belajar kami, beliau tak segan
berusaha membantu. Menurut Pak Ngadmin, sorot mata seseorang
menggambarkan keadaan orang tersebut pada saat itu.
Kutempel
surat ‘cinta’ Pak Ngadmin di lemari kulkas. Kalau aku mau belajar,
kuambil surat itu dan kuletakkan di atas meja belajarku di tempat yang
mudah terbaca olehku. Ajaib! Sepertinya rasa kantuk enggan mendatangiku
saat aku sedang belajar, karena aku ingin Pak Ngadmin merasa bangga
padaku. Surat itu membuatku merasa bahwa aku adalah salah satu muridnya
yang sangat berarti untuk beliau. Itu sebabnya, aku tak ingin
mengecewakan guruku yang satu ini.
Surat
dari Pak Ngadmin tak akan kubuang. Aku akan terus menyimpannya sampai
kapanpun. Disaat semangatku merosot, surat itu mampu membangun
keinginanku untuk kembali giat.
Guru Inspiratif Plus Imaginatif
Suatu hari, saat pelajaran
Bahasa Indonesia, Pak Ngadmin menyuruhku membacakan sebuah cerita dalam
lembar kerja siswa. Pak Ngadmin tersenyum-senyum mendengar aku membaca.
Lalu beliau mencoba mengulang membaca cerita tadi sesuai dengan ekspresi
yang digambarkan penulis pada isi cerita tersebut.
Pak
Ngadmin menunjukkan contoh-contoh ekspresi sedih, menangis, atau
ekspresi gembira, marah, lesu, dan sebagainya. Intinya,
ekspresi-ekspresi itu selalu muncul sesuai dengan isi karakter setiap
tokoh dalam cerita. Beliau membuatku menyadari, bahwa ternyata membaca
cerita bukanlah hal yang mudah, bila aku harus membacakan cerita itu
untuk orang lain. Pak Ngadmin juga mengajarkan kami untuk membaca dengan
intonasi yang benar, bukan seperti anak TK, sebagaimana yang selalu
kami lakukan selama ini. Untuk itu, agar lebih jelas Pak Ngadmin
menugaskan kami untuk mengamati setiap reporter berita di televise,
bagaimana sikap dan intonasinya, kemudian kami harus mempraktekkannya di
dalam kelas. Ah! Lagi-lagi bukan tugas yang mudah tapi menantang dan
menyenangkan.
Pada kesempatan
lain Pak Ngadmin mengajarkan kami untuk berpidato dengan baik dan benar
lalu mempraktekkannya di kelas. Juga beliau mengajarkan kami untuk
menjadi MC dalam suatu acara, tentu saja di dalam kelas. Kini Bahasa
Indonesia bukan lagi pelajaran yang membosankan, tetapi menjadi salah
satu pelajaran yang selalu kami tunggu.
Suatu
hari dalam pelajaran IPS, Pak Ngadmin memberi kami tantangan baru. Kami
harus mengumpulkan materi mengenai masalah-masalah social dan bekerja
dalam kelompok belajar IPS. Masalah social yang akan di bahas adalah:
Kemiskinan, Pengangguran, Anak Jalanan, Narkoba, dan Korupsi. Khusus
untuk masalah yang terakhir ini, adalah permintaan para murid, meskipun
awalnya Pak Ngadmin agak keberatan namun akhirnya beliau setuju. Kami
mendapat waktu cukup lama sekitar dua minggu untuk mengumpulkan
bahan-bahan sesuai dengan masalah social yang menjadi tugas kelompok
belajar kami. Kebetulan, kelompok kami mendapat bagian membahas masalah
social tentang Narkoba.
Sementara
mengumpulkan bahan-bahan materi yang diperlukan, di dalam kelas kami
belajar untuk menjadi moderator dan penyaji/pemrasaran. Adapun nilai
yang akan diberikan mencakup nilai untuk mata pelajaran Bahasa
Indonesia, yaitu untuk segi penyampaian makalah dan etika berbicara.
Nilai ini untuk perorangan, begitu pula untuk nilai IPS dalam penguasaan
materi. Sedangkan nilai kelompok adalah kekompakkan dan ketepatan waktu
penyerahan tugas.
Lebih seru
lagi, di akhir semester menjelang kenaikan kelas, kami mendapat tugas
untuk mewawancarai beberapa orang disekitar kami, misalnya: tukang
bakso, guru private, dan lain-lain. Terlebih dahulu kami belajar tentang
etika dalam wawancara termasuk cara kami bersikap, juga mengenai
pertanyaan-pertanyaan yang boleh dan tidak boleh kami ajukan, serta
membuat sebuah out line karena hasil wawancara ini harus kami susun
dalam sebuah laporan seperti makalah, lengkap dengan lampiran foto-foto
hasil wawancara kami.
Agar kami lebih memahami
pelaksanaan tugas ini, Pak Ngadmin mencoba simulasi bermain peran. Wah,
kegiatan bermain peran ini, benar-benar seru dan menyenangkan! Bermain
peran ini banyak membantu kami saat harus terjun ke lapangan. Semula aku
ragu akan kemampuanku, tapi lagi-lagi Pak Ngadmin mengingatkan: TAK ADA
KATA TIDAK BISA SEBELUM KITA BERUSAHA SUNGGUH-SUNGGUH. Ya, kata-kata
ini selalu disampaikan Pak Ngadmin berulang kali. Beliau tidak suka bila
ada muridnya yang mudah menyerah.
Guru Moving in Class Plus Gaul
Suatu hari Pak Ngadmin mengamati
salah seorang muridnya yang hanya bermain sendiri. Ia tidak penah
terlihat berkomunikasi, bercanda atau bermain dengan teman-teman di
kelasnya. Akhirnya Pak Ngadmin membentuk kelompok belajar yang selalu
berganti-ganti kelompoknya sesuai dengan mata pelajaran yang beliau
ajarkan. Misalnya, untuk pelajaran Matematika, aku mendapat tempat di
kelompok dua, pelajaran IPA di kelompok empat, pelajaran IPS di kelompok
satu, pelajaran Bahasa Indonesia di kelompok lima, dan pelajaran PKN di
kelompok tiga. Teman kelompokku juga berbeda dalam setiap mata
pelajaran itu. Jadi kalau jam pelajaran pertama aku belajar matematika,
maka aku berada di kelompok dua. Saat pelajaran berikutnya IPS, maka aku
pindah ke kelompok satu. Begitu seterusnya.
Aku
bertanya kepada Pak Ngadmin, alasan beliau untuk selalu meminta kami
berpindah saat pergantian mata pelajaran pokok. Ternyata kegiatan
berpindah ini meliputi banyak hal. Pertama, membuat siswa tidak
mengantuk dan jenuh. Kedua, meng-olahragakan mata dan leher, kecuali
siswa yang berkacamata, semua mendapat pengalaman duduk di barisan
belakang. Ketiga, melatih siswa untuk teliti terhadap barang-barang
miliknya. Keempat, cara ini sangat menolong siswa penyendiri dalam
bergaul dan berkomunikasi, karena ia tidak perlu merasa malu dan
terasing. Dalam kelompok belajar ini semua harus saling mendukung secara
positif sehingga bila ada siswa yang mendapat nilai buruk, tidak ada
ejekan atau sikap menertawakan. Bahkan Pak Ngadmin pernah menjelaskan
bahwa sesekali perlu mendapat nilai buruk, agar kita jedi lebih tangguh
dan tidak meremehkan siapapun. Dampak lain yang kurasakan dari kegiatan
berpindah ini adalah aku jadi lebih lincah, enerjik dan bersemangat,
karena harus bersaing memperebutkan posisi tempat duduk yang
“strategis”.
Terkadang, Pak Ngadmin membuat
sebuah game yang jadi salah satu kegiatan kesukaanku. Game ini berupa
kuis antar kelompok. Jadi kami harus cepat bergerak untuk masuk dalam
kelompok kami, karena jika terlambat maka kami tidak dapat masuk
kelompok manapun. Misalnya, aku sedang berada dalam kelompok IPA, usai
pertanyaan tentang IPA Pak Ngadmin menyampaikan bahwa berikutnya adalah
pertanyaan untuk pelajaran matematika. Maka kami harus cepat bergerak
mencari kelompok matematika kami. Bila setelah hitungan ketiga ada yang
belum masuk kelompoknya, maka ia harus masuk area eliminasi sementara,
dan setelah berganti kelompok, anak yang tereliminasi nasi kembali
bergabung.
Game ini sangat menyenangkan.
Dalam sebuah game pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, salah satu
kegiatannya adalah menulis sebuah surat. Setiap anak dalam satu kelompok
diminta membuat surat estafet. Artinya, tiap anak menuliskan satu
kalimat yang kemudian dilanjutkan oleh teman dibelakangnya. Hasilnya
sangat bervariasi. Kelompok yang
satu isi suratnya tidak saling
berkaitan, sementara surat yang lain berisi tulisan yang tidak dapat
dimengerti karena tulisan yang tidak dapat dibaca, dan sebagainya. Tentu
saja kelompok yang mendapat score tertinggi adalah kelompok yang isi
suratnya saling berkaitan dan rapih. Tapi inti dari permainan ini
bukanlah pada isi surat yang dihasilkan oleh kelompok, melainkan
kekompakkan dan kesediaan untuk saling mendukung dan memaafkan.
Pernah
aku memberanikan diri bertanya kepada Pak Ngadmin,” Mengapa game
semacam ini diterapkan Pak, bukankah kelas jadi gaduh..?” Seperti biasa,
Pak Ngadmin tersenyum dan dengan tenang balik bertanya,” Kamu suka…?
Nah…mana yang kamu suka, kelas yang hidup, bersemangat tapi gaduh atau
kelas yang mati, membosankan tapi sepi..?” Tidak diragukan lagi, aku
pasti memilih yang pertama!
Ternyata
ide Pak Ngadmin tidak sia-sia. Temanku, Icang, yang semula penyendiri
dan pemurung kini lebih ceria dan punya banyak teman. Dan aku, yang
semula sangat takut untuk bertanya termasuk beberapa temanku, sekarang
tidak lagi ragu atau takut untuk menanyakan pelajaran yang belum kami
mengerti. Memang Pak Ngadmin sangat senang bila ada muridnya yang
bertanya. Juga untuk pelajaran matematika, beliau tidak pernah keberatan
untuk menjelaskan berulang-ulang bila ada muridnya yang belum mengerti,
sekalipun itu hanya satu orang. Biasanya beliau akan menjelaskan lagi
secara perorangan saat jam istirahat, seperti yang selalu dilakukannya
pada Adam, temanku itu.
Guru Etika Plus Moral
Sekalipun dikenal sebagai guru
yang dekat dengan murid-muridnya, Pak Ngadmin sangat perhatian terhadap
sikap atau perilaku murid-muridnya yang tidak sesuai dengan tata cara
bersopan santun. Pak Ngadmin selalu menegur bila ada muridnya yang
berdoa sambil tangannya mempermainkan alat tulis atau apapun.
“Apapun agama kalian, berdoalah
dengan sikap yang sopan dan baik, jangan sambil mengganggu teman,
bermain pensil, atau tindakan lain yang tidak perlu. Mengapa? Karena
saat kalian berdoa, artinya kalian sedang berkomunikasi dengan Tuhan
Sang Pencipta.” Kulirik Malik yang tertunduk ketika Pak Ngadmin menatap
ke arahnya. Sebelum kami mulai belajar, kami bertadarus terlebih dahulu.
Pak Ngadmin yang semula berdiri mengawasi di depan kelas, berjalan
mendekati Malik dan meletakkan tangannya pada punggung Malik. Malik yang
sejak tadi mengganggu Susi dengan pensilnyapun terpaksa menghentikan
tingkahnya lalu ikut bertadarus.
“Kalau
kalian berbicara dengan orang lain yang lebih tua saja kalian harus
selalu menjaga sopan santun, apalagi saat kalian berbicara dengan Allah.
Mengerti?” tanya Pak Ngadmin lagi. Kembali pandangannya tertuju kepada
Malik. Malik mengangguk.
“Anak-anak, apa perlunya bersikap sopan ?”
“Biar nggak dimarahi orang lain,” sahut seorang temanku. Pak Ngadmin tertawa.
“Ya, biar tidak dimarahi orang lain. Ada lagi yang berpendapat lain?” Setelah menunggu sejenak, Pak Ngadmin melanjutkan,
“Anak-anakku, kalau kalian bersikap tidak sopan, siapa yang harus menanggung malu?”
“Diri sendiri,” ujarku mantap.
“Ya,
pasti dirimu sendiri, kalau kamu merasa…, tapi ada orang lain yang
harus menanggung malu karena tindakan kalian. Siapa….?” Tak ada
jawaban.
” Orang tuamu! Kalau
kalian melakukan tindakan yang tidak sopan, maka orang akan bertanya,
siapa sih orang tuanya…kok anaknya tidak sopan? Nah itu artinya secara
tidak langsung kalian mempermalukan orang tua kalian. Paham?” Semua
mengangguk.
“Jadi anak-anak,
sekalipun teknologi semakin maju, sopan santun tetap harus dijaga,
jangan diabaikan. Berbicaralah dengan tutur yang sopan dan kata-kata
yang benar. Jaga sikapmu agar tetap rendah hati. Misalnya, kamu berniat
membantu seseorang. Tapi orang yang akan kamu bantu justru marah dan
menolak uluran tanganmu, mengapa? Mungkin kita berbicara dengan
kata-kata yang merendahkan orang itu, atau kita menunjukkan sikap yang
sombong saat menawarkan bantuan, sehingga orang itu menjadi tersinggung
dan menolak tawaran bantuan kita, sekalipun kita ingin menolongnya
dengan tulus.”
Hampir setiap hari, Pak Ngadmin
selalu menyelipkan tata cara bersopan santun, mulai dari cara kita makan
yang baik, berbicara dengan yang lebih tua, cara bertamu, dan
sebagainya. Hal lain, setiap kami selesai berdoa usai pelajaran, sebelum
pulang beliau selalu mengulang pesan yang sama: jangan berani melawan
orang tua, jangan sakiti orang lain kalau kamu tidak mau disakiti tetapi
perlakukan orang lain dengan baik sebagaimana kamu ingin diperlakukan,
jangan bilang tidak bisa sebelum kamu berusaha dengan sungguh-sungguh.
Pada
awalnya, aku tak mengerti pesan Pak Ngadmin yang selalu mengatakan
“jangan sakiti orang lain kalau kamu tidak mau disakiti, tetapi
perlakukanlah orang lain dengan baik sebagaimana kamu ingin
diperlakukan”, sampai suatu saat setelah usai jam istirahat pertama,
kulihat Asni, temanku menangis di bangkunya. Tubuhnya yang gemuk tampak
berguncang mengikuti isakan tangisnya.
“Ada
apa, As..?” tanya Pak Ngadmin tenang seraya memasuki ruang kelas.
Langkahnya berhenti di bangku tempat duduk Asni. Anak-anak perempuan
saling berebut untuk mengadukan keadaan yang telah terjadi. Pak Ngadmin
menggeleng dan memberi tanda agar semua duduk. Tanpa diperintah dua
kali, semua langsung menuju kursinya masing-masing dan duduk tenang.
Tetapi beberapa anak perempuan terlihat tidak sabar, kembali beradu
suara agar didengar.
“Bisakah
kalian diam…?!” hardik Pak Ngadmin lebih keras. Sekarang tak ada satupun
yang berani bersuara, kecuali Asni. Isakan tangisnya belum berhenti.
“Bapak
ingin satu orang saja yang menceritakan apa yang terjadi… Rina?”
pandangan mata guruku tertuju pada temanku yang duduk di sebelah Asni.
Rina tampak terkejut. Dengan suara pelan Rina mengatakan bahwa ia sedang
berada di luar kelas saat itu. Tiba-tiba, Ferdi mengangkat tangannya.
”
Maaf, Pak. Boleh saya jelaskan?” Pak Ngadmin mengangguk. Dengan lancar
Ferdi menceritakan, bahwa tadi Malik mengejek Asni dengan sebutan
Karung, karena tubuhnya yang gemuk.
“Benar itu, Malik…?” tanya Pak Ngadmin yang menatap tajam kearah Malik. Malik tampak gugup dan mengangguk cemas.
“Mengapa?”
“Karena tadi Asni memukul punggung saya, Pak. Keras sekali,” sahut Malik parau.
“Mengapa kamu memukul Malik, As….?” tanya Pak Ngadmin.
“Tadi dia menginjak kaki saya, Pak…,” sahut Asni sedikit terbata. Isaknya kini mulai reda.
“Saya
tidak sengaja, Pak!” Malik berusaha membela diri. Pak Ngadmin
mengangguk-anggukkan kepalanya. Nampaknya beliau mulai mengerti duduk
permasalahannya.
“Baik,
anak-anakku. Setiap hari menjelang pulang, Bapak selalu berpesan Jangan
sakiti orang lain kalau kamu tidak mau disakiti, perlakukanlah orang
lain dengan baik sebagaimana kamu ingin diperlakukan. Masih ingat?”
Semua mengangguk.
“Apa artinya?” Sorot mata Pak Ngadmin berkeliling memandang kami satu persatu.
“Malik, maukah kamu dipukul temanmu?” Malik menggeleng.
“Manakah yang kamu pilih Asni, dipukul atau diejek?” Tanya Pak Ngadmin lagi.
“Tidak mau dua-duanya, Pak.”
“Kalau begitu, apa yang kamu mau? Dipukul atau disayang?” Beberapa temanku menahan senyum mendengar ucapan Pak Ngadmin.
“Disayang…”
“Nah,
kalau kalian tidak ingin dipukul ya jangan memukul, kalau kalian tidak
ingin diejek ya jangan mengejek, kalau kalian tidak suka disakiti…ya
jangan menyakiti. Jadi kalau kalian ingin disayang, ya sayangilah orang
lain, kalau ingin orang lain berbuat baik pada kalian ya kalianpun harus
berbuat baik dulu pada orang lain. Itu arti pesan yang selalu Bapak
sampaikan…! Mengerti?” Semua mengangguk tanda mengerti.
“Jadi kepada siapa kalian harus berbuat baik?”
“Teman,” celetuk Icang. Pak Ngadmin tersenyum mendengar jawaban spontan itu.
“Ya,
pada semua teman kita harus berbuat baik. Tapi bukan hanya teman saja,
melainkan pada siapa saja, misalnya orang tua, adik, kakak, pembantu,
supir,…ya pokoknya dengan siapa saja. Mengerti…?” Temanku saling
berpandangan. Masak sih pembantu? Bisik temanku pelan. Aku hanya
mengangkat bahu.
“Komar,”
panggil Pak Ngadmin tiba-tiba. Aku mendekat, dan Pak Ngadmin membisikkan
perintah agar aku mengambil kain pel yang dibasahi, di dapur sekolah.
“Coba
Komar, kamu berdiri di dekat pintu. Lalu beberapa anak Bapak minta
keluar dulu dari kelas….Nah, sekarang, Komar, coba kamu pel lantai di
dekat pintu.” Aku melakukan perintah Pak Ngadmin dengan tanda tanya
penuh di benakku. Saat aku sedang mengepel, Pak Ngadmin memanggil dua
orang temanku untuk masuk. Gerakanku terhenti sementara temanku lewat.
Lantai basah yang diinjak sepatu temanku kini kotor lagi. Sekali lagi
aku bersihkan lantai itu. Kembali Pak Ngadmin memanggil seorang temanku.
Aku berhenti. Lantai itu kotor lagi. Kubersihkan lagi….terus begitu
berulang-ulang. Akhirnya emosiku memuncak. Dengan rasa marah dan kesal,
aku melempar kain pel itu ke lantai, lalu berjongkok menutupi wajahku.
Pak Ngadmin berjalan mendekat ke arahku. Diraihnya bahuku lalu
dituntunnya aku ke tempat dudukku.
“Bagaimana perasaanmu, Komar?” suaranya tenang. Dadaku terasa sesak. Kutatap guruku dengan kesal.
“Marah! Terhina! Saya kan capek, Pak…,” keluhku penuh emosi. Pak Ngadmin tersenyum mengangguk.
“Anak-anak,
pernahkah kalian lakukan perbuatan tadi?” Aku tersentak. Pertanyaan Pak
Ngadmin mengubah rasa marah dan kesalku tadi menjadi malu. Kulihat
beberapa temanku menunduk.
“Anak-anak,
perlakukanlah orang lain dengan baik sebagaimana kamu ingin
diperlakukan.” Pesan itu terasa meresap begitu dalam di hatiku. Tidak
lagi hanya lewat di telingaku, karena kini aku mengerti makna yang
begitu dalam dari pesan itu.
Guru Kaset Plus Solusi
Aku tahu ini terdengar sedikit
aneh, tapi begitulah adanya. Seperti kemarin ketika kami sedang tenang
belajar di kelas, tiba-tiba Pak Ngadmin memanggil nama temanku.
“Alvin, mana kacamatamu. Mengapa kamu tidak memakai kacamatamu..?” tanya Pak Ngadmin tenang.
” Ada, Pak. Tapi tadi rusak, karena bautnya lepas.” Alvin merogoh kacamatanya dari tas.
“Boleh
Bapak lihat? Pasti sulit buatmu untuk membaca tanpa kacamata….,” Alvin
mengangguk. Dia berjalan ke arah Pak Ngadmin lalu menyerahkan kacamata
miliknya.
“Kenapa kamu diam
saja?” Sejenak Pak Ngadmin mengamati kacamata itu lalu menyuruh Alvin
untuk kembali duduk. Tak lama kemudian Pak Ngadmin beranjak keluar
dengan membawa kacamata Alvin. Setelah beberapa saat, guruku datang
mendekati Alvin dan menyerahkan kacamata yang sudah diperbaikinya.
“Coba kamu pakai,” suara Pak Ngadmin nyaris tak terdengar. Alvin segera memakai kacamatanya.
“Bagaimana…enak tidak dipakainya?” tanya Pak Ngadmin lembut. Alvin menoleh ke kanan dan kiri beberapa kali.
“Enak
Pak. Terima kasih, Pak,” ujar Alvin senang. Pak Ngadmin mengangguk dan
menepuk punggungnya. Sejenak semua mata tertuju pada Alvin, lalu kembali
menyelesaikan soal-soal latihan yang sedang dikerjakan.
Untuk
kelasku yang walinya Pak Ngadmin, tindakan yang dilakukan Pak Ngadmin
tadi bukanlah sesuatu yang baru. Banyak hal selain mengajar beliau
lakukan, mulai dari memperbaiki retsluiting tas sekolah, mengakali
sepatu temanku yang rusak agar bisa tetap dipakai selama belajar satu
hari itu, termasuk mencabut gigi muridnya yang sudah sangat goyang tapi
temanku begitu ketakutan untuk ke dokter.
Entah
bagaimana caranya, Pak Ngadmin juga selalu bisa memberikan rasa nyaman
pada muridnya yang sedang galau atau ketakutan. Pak Ngadmin juga dapat
membaca keadaan muridnya yang mengalami stress karena suatu hal.
Karenanya, menjadi kebiasaanku dan teman-temanku untuk selalu bercerita
kepadanya tentang berbagai hal yang kami alami. Kini aku tidak lagi
heran bila kulihat kakak-kakak kelas yang ingin bertemu Pak Ngadmin
untuk sekedar bercerita.
Pak
Ngadmin adalah guru yang sangat menyukai musik. Musik apapun beliau suka
terutama musik jazz. Bahkan saat di kelaspun, kegemarannya akan musik
tidak ditinggalkan. Bila kami ulangan, mengerjakan soal-soal latihan
atau mengarang yang menjadi tugas pelajaran Bahasa Indonesia, Pak
Ngadmin selalu membawa kaset dan memperdengarkan alunan musik-musik
instrumental yang lembut di dalam kelas.
Tapi
untuk mendidik temanku Ferdi, Pak Ngadmin punya cara lain lagi.
Karakter Ferdi hampir seperti Icang. Temanku yang satu ini jauh lebih
sulit dalam bersosialisasi. Temannya sehari-hari hanyalah buku dan ilmu
pengetahuan. Sulit baginya untuk berinteraksi dengan siapapun, dia
begitu mudah marah. Tak pernah ada senyum di bibirnya. Untuk
teman-temanku, Ferdi adalah anak yang aneh, karena dia lebih suka
mengamati semut yang berjalan beriringan, pipa-pipa air yang saling
bersambungan, kabel-kabel listrik yang rumit, atau antenna-antena
televisi. Hampir semua orang menganggapnya aneh. Hanya Pak Ngadmin yang
tidak. Pak Ngadmin sering mengajaknya berbicara berdua. Hanya pada saat
seperti inilah aku bisa melihat Ferdi sesekali tersenyum.
“Fer, kamu bisa main catur?” tanya Pak Ngadmin tiba-tiba di tengah pelajaran kami, suatu hari.
“Nggak,
Pak. Nggak penting,” sahut Ferdi lugas. Hanya sekilas ia menatap Pak
Ngadmin untuk kemudian terpaku lagi pada buku dihadapannya.
“O
ya..? Kata siapa nggak penting. Bagaimana kalau kamu buktikan
kata-katamu….. berani?” tantang Pak Ngadmin dengan wajah yang ramah.
Sejenak Ferdi menatap Pak Ngadmin, lalu mengangguk dan meneruskan lagi
membaca buku di tangannya.
Mendadak
murid yang lain saling berebut agar diijinkan membawa juga papan catur
dan ikut bermain. Kelas jadi begitu gaduh. Akhirnya Pak Ngadmin
mengijinkan dengan satu syarat hanya bermain catur saat istirahat atau
setelah tugas yang diberikan selesai dikerjakan.
Keesokkan
harinya, banyak teman-temanku yang membawa papan catur. Kebanyakan anak
laki-laki, begitu juga Ferdi. Tapi Ferdi tak mengijinkan siapapun
menyentuh papan catur miliknya.
Ferdi
adalah anak yang sangat pandai. Tugas apapun yang diberikan selalu
dikerjakanya dalam waktu yang sangat cepat dengan hasil yang sangat
memuaskan. Seperti hari ini, soal-soal matematika yang diberikan Pak
Ngadmin cukup sulit dengan jumlah dua puluh soal. Tapi bagi Ferdi,
soal-soal itu dapat diselesaikannya hanya dalam waktu kurang dari
setengah jam
Pak Ngadmin memanggil Ferdi untuk membawa papan caturnya ke tempat beliau duduk.
“Boleh
Bapak pegang papan catur milikmu?” Pak Ngadmin bertanya dengan
hati-hati. Sementara papan catur itu masih dalam pelukan temanku yang
aneh. Ragu-ragu Ferdi mengangguk.
“Tapi hati-hati, ya Pak. Nanti rusak…,” ujarnya lirih. Pak Ngadmin tersenyum lalu mengangguk.
“Kamu tahu nama-nama dari biji catur ini?”
“Punya nama…?” Ferdi balik bertanya dengan wajah bingung.
“Yap.
Mau kenalan? Nah, perkenalkan…ini pion, tempatnya di sini.” Pak Ngadmin
mengambil sebuah pion lalu meletakkan di tempat semestinya.
“Kamu
lihat, biji catur ini ada dua warna. Ada kubu warna putih dan kubu
warna hitam. Kedua kubu ini akan selalu berperang untuk menjadi
pemenang. Jumlah anggota tiap kubu sama, masing-masing namanya juga
sama, yang membedakan adalah warnanya. Biasanya yang mendapat kesempatan
untuk bergerak lebih dulu adalah putih. Nah, sekarang kita lihat tiap
biji catur ini ya. Tadi kamu sudah berkenalan dengan satu pion putih.
Masih ada pion-pion……,” Pak Ngadmin menjelaskan secara detil mulai dari
biji catur, jumlahnya, tempat masing-masing biji catur, dan langkah
setiap biji catur itu. Untunglah aku duduk di barisan terdepan dekat
meja guruku, sehingga aku bisa mendengarkan juga penjelasan Pak
Ngadmin.
Ferdi tampak begitu
sungguh-sungguh memperhatikan setiap penjelasan yang diberikan Pak
Ngadmin. Ia terlihat begitu antusias. Tak sulit baginya untuk mengingat
setiap penjelasan yang diberikan Pak Ngadmin. Aku memandang temanku yang
jenius ini dengan takjub. Tanpa menunggu lama, Ferdi sudah mulai
terlibat permainan catur bersama Pak Ngadmin. Melihat hal itu, murid
yang lain makin bersemangat untuk menyelesaikan soal-soal matematika
tadi, begitu juga aku. Alhasil, hanya dalam waktu satu jam pelajaran,
banyak yang sudah selesai dengan tugasnya. Aku melihat sekeliling, masih
ada bebeapa temanku terutama yang tidak suka permainan catur, masih
berkutat dengan soal-soal tadi, tetapi yang lain tampak mulai menggelar
caturnya.Seru sekali! Sejak itu, kelas kami mempunyai ‘pelajaran
tambahan’ di waktu luang, yaitu CATUR!
Aku
masih belum mengerti, mengapa Pak Ngadmin memberi ide agar Ferdi
belajar catur. Sampai keesokkan harinya, Ferdi yang begitu antusias
bermain catur mengeluh dan mengadu kepada Pak Ngadmin bahwa tak satupun
dari kami teman sekelasnya yang bersedia
bermain
catur dengannya. Wajahnya tampak sangat gusar. Siapapun yang mendekat,
hendak ia pukul dengan kayu di tangannya. Jam istirahat jadi saat yang
sangat menegangkan. Suasana mulai reda ketika Pak Ngadmin datang. Kami
semua bersembunyi di balik punggung beliau.
“Perlukah
kayu itu, nak…?” tanya Pak Ngadmin lembut dan tegas. Sesaat Ferdi
memandang kayu di tangannya, kemudian ia buang ke lantai dengan lesu.
Pak Ngadmin mengajak temanku yang tertunduk sedih itu duduk di salah
satu bangku sementara beliau menarik sebuah bangku lain dan duduk di
depannya. Dengan sabar beliau mendengarkan semua curahan kekesalan
Ferdi.
“Kamu tahu mengapa Bapak
suruh kamu belajar catur?” Pak Ngadmin bertanya sambil menatap Ferdi
dalam-dalam. Temanku itu menggeleng. Kami semua menatap beliau penuh
rasa ingin tahu.
“Untuk bermain
catur, kamu harus punya sparing. Memang kamu bisa bermain sendiri dan
memegang dua kubu itu, tapi itu hanya untuk latihan. Permainan catur
yang sebenarnya adalah bila kamu punya lawan. Semakin pandai lawanmu,
maka permainan caturmupun semakin terasah. Artinya, kamu perlu orang
lain. Masalahnya sekarang, tidak ada temanmu yang bersedia menjadi
lawanmu. Benar?” Ferdi mengangguk mengiyakan.
“Mengapa?”
“Seharusnya Bapak tanya mereka, bukan saya!” sahut Ferdi marah seraya menuding kami semua.
“Sudahkah
kamu bertanya dulu pada dirimu sendiri?” Ferdi terperangah mendengar
ucapan Pak Ngadmin, dan segera membuang pandangannya ke papan tulis.
Napasnya mulai sedikit tersengal, tanda bahwa emosinya meninggi.
“Ferdi….Bapak
pasti akan bertanya juga pada temanmu nanti, dan supaya adil Bapak juga
harus bertanya padamu. Bagaimana?” ujar Pak Ngadmin dengan sabar.
Beberapa saat Ferdi terdiam. Berangsur-angsur napasnya mulai teratur.
“Mereka
semua selalu menertawakan saya kalau saya bercerita tentang apa saja.
Sepertinya saya ini orang yang aneh. Saya jadi malas berteman dengan
mereka. Lebih baik say a membaca buku.” Nada suaranya terdengar sedih
dan Pak Ngadmin menatapnya dengan iba. Pak Ngadmin memeluk bahu Ferdi
yang tertunduk lesu.
“Anak-anak,
tidak ada orang yang suka ditertawakan, diasingkan, dan dianggap aneh.
Kalau kalian hendak berbuat seperti itu pada orang lain, cobalah
bertanya dulu pada dirimu sendiri, bagaimana jika kamu yang diperlakukan
begitu. Kalau kalian tidak mau ditertawakan,
diasingkan
atau dianggap aneh, ya jangan menempatkan orang lain pada posisi itu.”
Ujar Pak Ngadmin menjelaskan. Semua terdiam. Kemudian pandangan guruku
itu beralih pada Ferdi yang bediri di sampingnya.
“Kamu
tahu mengapa biji catur itu terdiri dari pion, raja, mentri, kuda,
gajah, dan benteng? Kalau kamu bermain catur dengan pion saja, atau kuda
saja…atau raja saja sendiri..menurutmu, bisakah kamu menang?” Ferdi
menggeleng.
“Nah, catur ini
mengingatkan bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Kita juga perlu orang
lain untuk bisa berkembang menjadi lebih baik. Mengapa? Karena dari
pandangan, kritik atau saran orang lain terhadap kita, juga dari
contoh-contoh kehidupan sehari-hari yang kita lihat, kita akan mengerti
dan belajar untuk lebih baik. Kecerdasanmu tidak ada artinya kalau kamu
mengisolir diri dan tidak peduli akan sekitarmu. Terimalah setiap kritik
dan saran dengan lapang dada bukan dengan prasangka. Cobalah…dan kamu
akan merasakan perbedaannya.” Pak Ngadmin mengakhiri nasihatnya sambil
tersenyum. Ferdi menatap Pak Ngadmin penuh rasa haru. Ia mengangguk
sambil berucap lirih,” terima kasih, Pak.”
Atas
nasihat guruku tadi, sejak saat itu tidak ada lagi diantara kami yang
keberatan bermain catur dengan Ferdi. Dan berangsur-angsur, kulihat kini
menjadi pribadi yang sangat berbeda. Dia lebih terbuka, senang tertawa
dan bercanda, serta tidak lagi mudah tersinggung.
Guru Motivator Plus Optimis
Suatu hari, sebagaimana biasa
Pak Ngadmin memasang alat infokus pada laptop yang dibawanya. Wah, ada
film lagi, nih! pikirku. Tapi hari itu tidak ada pelajaran IPA atau IPS.
Yang ada hari ini adalah pelajaran matematika dan bahasa Indonesia
serta pelajaran dari guru bidang studi.
Semua murid duduk tenang sambil
bertanya-tanya, kejutan apa lagi yang akan diberikan guru kami. Selesai
memasang alat-alat itu, sejenak Pak Ngadmin menatap kami satu persatu.
Hal itu biasa beliau lakukan bila hendak mengawali pelajaran. Menurut
beliau, ia ingin memastikan bahwa murid-muridnya siap mengikuti
pelajaran dengan baik, tidak ada yang lesu atau mengantuk.
“Nah, anak-anak, Bapak tahu
sekarang ini seharusnya kita belajar matematika tiga jam. Tapi Bapak
lihat kalian sudah cukup menguasai materinya, jadi dengan persetujuan
kalian Bapak mau menggunakan waktu dua jam untuk film yang sudah Bapak
siapkan ini. Untuk apa? Nanti kalian akan tahu maksud Bapak setelah
kalian menyaksikan film ini. Bagaimana? tanya Pak Ngadmin seraya menatap
keliling.
“Setuju Pak…!” semua menjawab serempak.
“Tiga jam juga nggak apa-apa, Pak,” celetuk Udin. Pak Ngadmin tersenyum menanggapi celoteh Udin.
“Baik. Bapak akan putar film
ini, coba kalian simak baik-baik. Nanti Bapak akan menanyakan tanggapan
kalian setelah menyaksikannya.” Penuh rasa ingin tahu, semua menyaksikan
film itu dengan tenang.
Film itu berisi tentang seorang
anak laki-laki di Amerika, yang mengalami Cerebral Parsy atau kelainan
pada otak, sehingga ia tidak dapat bertumbuh secara normal. Ia tidak
dapat berdiri sehingga harus selalu duduk di kursi roda. Begitupun kedua
tangannya tak dapat ia gunakan sebagaimana mestinya, sehingga untuk
membersihkan air liurnya yang selalu menetespun cukup sulit baginya.
Untuk berkomunikasi, ia menggunakan computer yang dirancang sedemikian
rupa sehingga dapat digunakannya dengan mudah.
Film kedua yang disajikan Pak
Ngadmin, adalah film seorang gadis bernama Hee Ah Lee, gadis dengan
tinggi tidak lebih dari 103 cm, tidak memiliki jari dan juga tidak
memiliki kaki. Jari yang ia miliki di kanan dan kiri hanyalah dua buah.
Tapi gadis ini sangat mahir bermain piano dengan jenis-jenis lagu yang
cukup sulit karena memerlukan ketrampilan jari. Durasi film ini kurang
lebih sama dengan film pertama, sekitar sepuluh menit.
Selesai memutar film, kembali Pak Ngadmin mengamati kami satu persatu.
“Bagaimana tanggapan kalian?” Hampir semua menjawab sama yaitu kasihan. Ada juga yang menjawab tidak tega.
“Ya…, ada punya tanggapan lain?” tanya Pak Ngadmin. Semua diam.
“Mengapa harus kasihan?” Semua terperangah dan merasa heran atas ucapan beliau.
“Apakah dalam film tadi kalian
melihat wajah yang minta dikasihani? Tidak, bukan…? Bagaimana wajah dua
tokoh dalam film tadi?” Semua masih diam, tidak mengerti. Pak Ngadmin
tersenyum.
“Anak-anak, wajah kedua tokoh
dalam film tadi memperlihatkan wajah yang begitu penuh semangat, penuh
rasa percaya diri dan tidak pernah murung juga tidak mengeluh. Betul….?”
Semua mengangguk. Ya, yang diceritakan dalam film tadi bukanlah tentang
kesedihan.
“Nah, mengapa kita tidak perlu kasihan?” Tak satupun menjawab.
“Baik. Untuk menjelaskan mengapa
kita tidak perlu mengasihani orang dengan keadaan fisik seperti tokoh
tadi, Bapak akan ceritakan lagi tentang seorang pemuda Jepang yang
hebat, bernama Hirotada Ototake.” Pak Ngadmin selalu berhasil membuat
semua murid terpikat bila bercerita. Sama seperti saat ini, ketika
beliau menceritakan kisah kehidupan pemuda Jepang tadi. Tak ada satupun
suara nakal yang terlontar atau tingkah-tingkah kecil yang mengganggu.
Inti ceritanya, Oto, demikian
nama panggilan pemuda Jepang itu, adalah seorang pria yang terlahir
tanpa kedua lengan dan dua kaki. Tangan dan kaki yang dimilikinya, tak
lebih dari segumpal daging seukuran kentang besar. Tapi luar biasanya,
Oto dapat mengerjakan kegiatan apapun sebagaimana yang biasa dilakukan
orang-orang yang tidak mengalami cacat fisik. Oto dapat bermain basket,
memanjat tali, berenang, lomba lari bahkan berkelahi. Oto bersekolah di
sekolah biasa, bukan sekolah khusus anak cacat, tapi tidak ada satupun
kegiatan di sekolah itu yang ‘dikecualikan’ bagi Oto. Ia tetap mengikuti
seluruh kegiatan belajar juga ekstrakurikuler yang ada. Seorang
gurunya, tetap mendidik Oto dengan keras dan disiplin sama seperti
terhadap murid yang lain. Tapi justru sikap inilah yang kemudian sangat
membantu Oto menjadi pribadi yang percaya diri, mandiri dan selalu
optimis.
“Anak-anakku…masih ingat seorang
ahli matematika bernama Ni Ing Han? Ada kesamaan yang bisa kita lihat
dengan ketiga tokoh tadi. Apa…ada yang bisa ..?” tanya Pak Ngadmin.
“Cacat fisik,” sahutku ragu. Pak Ngadmin tersenyum.
“Ya, mereka memang mengalami cacat fisik. Tapi bukan itu yang Bapak maksud. Ada yang bisa…?”
“Kesamaan yang bisa kita lihat
dari keempat tokoh tadi, pertama mereka mendapat kasih sayang dan
perhatian yang tulus dari orang yang terdekat. Ini penting. Itu sebabnya
Bapak selalu berpesan perlakukan orang lain dengan baik sebagaimana
kamu ingin diperlakukan. Kedua, mereka tidak diperlakukan secara
istimewa dan tidak dimanja sekalipun mereka tidak sempurna fisiknya.
Bukannya tidak ada rasa kasihan. Rasa kasihan pasti ada, tapi cukup
disimpan dalam hati. Mengapa? Karena rasa kasihan itu justru akan
menghambat keempat tokoh tadi untuk maju. Bayangkan, bagaimana kalau
selalu dikasihani? Rasa kasihan akan membuat mereka selalu mendapat
perkecualian, boleh tidak mengerjakan tugas, selalu mendapat tugas yang
ringan, harus selalu dilayani, bahkan mungkin hanya boleh bermain di
dalam rumah, dan masih banyak contoh rasa kasihan yang lain. Akibatnya
apa? Mereka akan menjadi pribadi yang selalu bergantung pada orang lain,
egois, malas, tidak tangguh, kurang percaya diri dan …selalu bermasalah
dalam bersosialisasi dengan orang lain…” Aku termangu merenungkan
setiap kata yang disampaikan guruku.
“Itu sebabnya Bapak berpendapat,
kita tidak perlu menunjukkan rasa kasihan. Simpan rasa kasihan itu
dalam hati, dan tunjukkan dukungan serta perhatian yang tulus agar
orang-orang yang tidak sempurna fisiknya itu tidak merasa lemah tetapi
merasa bahwa dia sangat berarti bagi sekelilingnya dan dapat memberi
yang terbaik bagi siapapun. Dukungan dan sikap yang baik akan
menumbuhkan rasa percaya diri serta rasa optimis yang tinggi pada orang
yang menerimanya.”
Aku terpekur. Kata-kata Pak
Ngadmin begitu sederhana tapi sangat dalam artinya. Aku berharap Pak
Ngadmin akan memutar lagi film-film lain yang sejenis. Sekarang aku
tidak lagi merasa malas berangkat sekolah karena setiap hari selalu ada
hal baru yang menyenangkan terjadi, atau kalaupun tak ada peristiwa
baru, cerita-cerita berisi nasehat selalu disampaikan Pak Ngadmin dengan
menarik. Itulah Pak Ngadmin, guru yang selalu membuatku ingin belajar
dan melakukan yang terbaik.
Sekarang, setiap kali aku
mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugasku, aku tidak lagi menangis
atau menyerah. Empat tokoh yang diceritakan Pak Ngadmin menyadarkanku,
kalau mereka yang mengalami kekurangsempurnaan fisik saja bisa dan
berani menghadapi tantangan, masakan aku yang diberi anugerah fisik
sempurna ini mudah menyerah dan takut menghadapi tantangan. Di samping
itu, pesan Pak Ngadmin agar tidak berkata tidak bisa belum berusaha,
membuatku terpacu untuk berusaha dan terus berusaha tanpa mudah
menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar