Jumat, 07 Juli 2017

Merindukan Halaqoh



Pernahkah Anda merasa jenuh mengikuti perhalaqohan? Untuk membenarkan kebosanan itu orang sering mencari pembenaran untuk tidak mengikutinya. Meriang sedikit minta izin dengan alasan tidak enak badan. Gerimis dibilang ‘hujan, ustadz, afwan tidak bisa hadir’. Si kecil rewel menjadi alasan ‘ada urusan keluarga mendesak’. Masya Allah ada saja seribu satu alasan bagi kita untuk menjadi budak nafsu kemalasan.

Apalagi bila musrif yang mengajarkan tidak berkenan menurut selera kita. Gaya bicaranya tidak menarik, status sosialnya tidak meyakinkan, ditambah lagi tsaqofahnya terbatas. Kian memberatkan hati dan langkah untuk hadir ke majlis halaqoh.

Bila pun hadir halaqoh hanya sebagai pertemuan menjemukan yang ingin cepat diselesaikan. Atau menjadi ajang untuk tertidur hingga doa penutup majlis dibacakan.

Padahal perhalaqohan adalah pilar dari sebuah aktifitas dakwah. Satu motor dari mesin perubah masyarakat. Halaqoh adalah kesempatan mentransfer pemahaman dari kitab pembinaan kepada para peserta halaqoh. Mungkinkah melakukan perubahan di tengah masyarakat tanpa mengurai konsep perubahan itu sendiri?

Duhai jiwa yang malas, inginkah mendengar bagaimana para salafus soleh yang telah menegakkan peradaban ini begitu merindu pada halaqoh bersama guru-guru mereka?

Baiklah kunukilkan beberapa kisah semangat jiwa orang-orang alim dalam meniti jalan menggapai ilmu. Sebutlah Ibnu Jandal al-Qurthuby Rahimahullah yang berjuang untuk bisa menghadiri majlis ilmu Ibnu Mujahid. Beliau bercerita : “Saya pernah belajar kepada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengan nya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata : “Subhanallah, saya datang sepagi ini, tetapi saya tetap saja tidak bisa duduk didekatnya.”

Kemudian saya melihat sebuah terowongan disamping rumahnya. Saya membuka dan masuk kedalamnya. Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Saya membuka terowongan selebar – lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas ditubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah Subhanahu wa ta’ala menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya, sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu.”

Sudahkah kita berkorban harta untuk menghadiri perhalaqohan? Ongkos naik angkot agar bisa hadir ke majlis atau membeli bensin agar motor bisa kita pakai menuju tempat ilmu tersebut?

Simaklah kisah Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah niscaya kita akan merasa malu. Beliau berkata : “Saya tinggal di Bashrah selama delapan bulan pada tahun 241 H. Didalam hati saya ingin tinggal selama setahun (agar bisa berlajar ilmu lagi), tetapi saya kehabisan nafkah. Maka saya menjual pakaian-pakaian saya sedikit demi sedikit, sampai saya betul-betul tidak memiliki nafkah lagi.”

Bagaimana pengorbanan dan kecintaan kita pada majlis halaqoh? Sudahkah seperti para salafus soleh yang senantiasa haus ilmu dan dimabuk ilmu? Masihkah kita meragukan janji Allah bahwa Ia akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu?

يَآيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْآ اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجَلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْافَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَتٍ وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ـ المجادلة

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(al-Mujadilah: 11).

Maukah kita dimohonkan ampunan oleh semua mahluk di langit, di bumi bahkan oleh ikan-ikan di dasar samudera? Mereka hanya memanjatkan permohonan doa kepada orang-orang yang berilmu? Apakah kita merasa malu menerima keridloan para malaikan dimana mereka mengembangkan sayapnya bagi para pencari ilmu?

“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya bukti keridloannya pada penuntut ilmu, dan sesungguhnya orang yang alim akan dimintakan ampunan oleh penghuni langit dan bumi serta ikan-ikan dilautan.”(HR. Abu Daud)

Benar, bahwa orang yang menukil isi kitab kepada peserta halaqoh haruslah orang yang berkompeten. Tapi seringkali ukuran kompeten atau tidak kompeten itu lebih dikuasai oleh hawa nafsu kita sebagai peserta halaqoh. Ego kita mengalahkan keimanan sehingga menghilangkan ketawadluan diri di hadapan sesama muslim, apalagi di depan seorang guru. Hingga muncul sikap merendahkan kemampuan orang lain. Kita pun beringsut-ingsut menarik diri dari halaqoh dengan alasan ‘pembina tidak memuaskan’.

Seorang pembina memang harus selalu meningkatkan kualitas diri, akan tetapi itu bukan alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan majlis ilmu. Karena sekecil apapun, ilmu akan tetap bermanfaat. Lupakah kita dengan kemuliaan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah yang terdiam saat seorang remaja dari Hijaz memberinya nasihat? Remaja itu berkata, “Sesungguhnya nilai seseorang itu ditentukan oleh hati dan lidahnya…”

Duduk di hadapan guru yang kemampuannya tidak seperti yang kita harapkan, lalu mendengarkan pembicaraannya, sebenarnya adalah bagian dari pembelajaraan yang mendasar dari sebuah majlis ilmu; keikhlasan dan kesabaran. Tanpa kedua sifat itu tidak mungkin seorang murid akan mendapatkan kemanfaatan dalam majlis ilmu.

Maka, sudahkah kita merindukan hadir di majlis halaqoh? Ataukah kita masih sibuk mencari-cari pembenaran ketidakhadiran kita? Semoga Allah memberikan hidayah untuk kita semua agar menjadi insan yang cinta ilmu, majlis ilmu, dan para pemberi ilmu. Agar kita senantiasa merindukan halaqoh, darah kita bergelora untuk hadir di dalamnya, dan jantung kita berdegup kencang setiap kali mata ini menatap kalam demi kalam dari kitab-kitab kajian.

Oleh: Ustadz Iwan Januar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

foto untuk refleksi